Jadi Pawang Hujan Berkat Perpustakaan

img-20161127-wa0000

Pak Laherong memetik cengkeh di kebun

Suatu pagi, bapak muda keluar rumah menuju ke kebun miliknya. Terlihat banyak tetangga kanan  kiri yang ia lewati menjemur cengkeh hasil panen. Dirinya tak sesibuk seperti yang lain, meski memiiki cengkeh yang harus segera dijemur. Entah dilangkah yang keberapa ia ditegur salah satu tetangga kenapa tak ikut menjemur hasil panen. Ia hanya menjawab, tak usah jemur hari ini, sebentar lagi turun hujan.

Benar juga apa yang dikata bapak muda tersebut. Siang hari turun hujan. Tak ayal para tetangga tadi harus pontang panting mengemas cengkeh yang dijemur. Tak hanya satu kali, apa yang dikatakan dia terkait musim sering menjadi kenyataan. Sehingga para tetangga menyebutnya sebagai pawang hujan yang hebat di kampungnya.

Musim sedang tak menentu. Pagi hari muncul sang mentari bersinar, akan tetapi menjelang siang awan hitam sudah menghampiri. Anomali cuaca seperti ini membingungkan masyarakat Desa Mambapuang, Anggareja, Kabupaten Enrekang Sulawesi Selatan. Sebagian besar masyarakat yang hidup di dataran tinggi tersebut menggantungkan pada hasil bumi.

Di saat panen cengkeh, hasil petikan cengkeh harus segera dijemur. Agar cengkeh benar kering sehingga jika disimpan tak akan kena jamur. Butuh waktu 4 hari jika matahari terik. Maka selesai panen, para petani segera melakukan penjemuran agar menghasilkan cengkeh berkualitas baik.

Laherong Ila, begitu nama lengkap bapak muda di atas tadi. Dia menceritakan kisahnya yang pernah disebut sebagai pawang hujan di kampungnya. Sambil tersenyum Laherong mengisahkan bahwa dirinya bukan pawang hujan. Tetangga dan teman-teman saja yang memanggil demikian. Karena ia dianggap pintar memperkirakan cuaca. Ia membuka rahasia mengapa bisa memperkirakan cuaca. Bahwa sebelumnya Laherong membuka internet terkait prakiraan cuaca dari BMKG

fb_img_1480142369375

Pak Laherong sedang memanfaatkan komputer dan internet di Perpustakaan Desa Bambapuang

Laherong merupakan petani cengkeh, pernah menjadi TKI. Pertanian cengkeh yang ia garap kurang subur. Hanya bisa menghasilkan sekitar 500 liter sekali panen. Ia tertarik adanya pelatihan komputer dan internet di perpustakaan desa dimana ia tinggal. Dari situlah informasi apa saja yang ia inginkan, ia datang ke perpustakaan untuk memanfaatkan layanan internet gratis. Salah satunya mencari informasi cuaca untuk membantu dirinya menjemur cengkeh hasil panen.

Setelah mengenal perpustakaan, ia sering ke gedung yang disebut jendela dunia tersebut. Mencari informasi di buku dan internet terkait pertanian cengkeh. Informasi yang didapat kemudian diterapkan di tanah pertaniannya. Hasil yang didapat diluar dugaan Laherong. Sekali panen bisa mencapai 4000 liter.

Tak hnya itu, Laheron  juga mencari informasi tentang komoditi tanama yang ditanam oleh para petani di seputar Sulawesi dan NTB. Dia melakukan hal tersebut untuk memperkirakan harga pasar. Ia melihat NTB memiliki geogografis yang sama dengan Sulawesi dimana ia tinggal. Sehingga tanaman yang ditanam petani di dua lokasi tersebut satu jenis dan ditanam serempak. Hal itu menurutnya bisa menyebabkan harga barang turun di pasar.

Laherong mencari nformasi pertanian di NTB yang sedang ditanam apa. Ketika di Bima atau NTB banyak yang menanam tembakau, ia memilih tanam bawang merah. Strategi tersebut dimanfaatkan dirinya dan tetangga yang mengikutu lagkahnya. Dengan demikian harga komoditi yang ditnama harganya bisa stabil bahkan bisa naik di pasar. Sampai sekarang ia masih tetap menerapkan perkiraan pertanian tersebut.

Tulisan ini pernah diterbitkan di Cintai Indonesia

Tinggalkan komentar